Jumat, 15 Maret 2013

Hanya Bercerita




Dalam gundah menulis postingan ini, antara campur baur perasaan hati. Dikatakan mengeluh bukan, akan tetapi hanya menumpahkan isi kepala yang seakan sudah penuh terisi dengan segala pemikiran. Apakah aku harus bercerita melalui tulisan ini? Atau aku bertahan dengan menunjukkan ekspresi bahagia seakan tiada gundah dihati?

Usia ku sudah mendekati masa dewasa, dimana aku sudah bisa untuk menikah. Tertarik dengan seorang gadis, aku pun bercerita kepada kedua orang tua. Sebagaimana lazimnya adat, maka utusan dikirim kerumah si gadis. Sekapur sirih pun teruntai, menyampaikan tujuan berkunjung hendak memeriksa. Adakah sang bunga telah memiliki kumbangnya, atau sang bunga masih sendiri dengan indahnya. Tersampaikan hasrat maksud dihati, musyawarah keluarga pun dimulai untuk melanjutkan prosesi.

Disinilah hati ku mulai bergejolak, dimana adat dan kebiasaan masyarakat seakan sudah jauh dari hukum agama. Kini tampak pernikahan adalah sebuah prosesi menunjukkan harta, memperlihatkan siapa si kaya dan siapa yang tidak berada. Syarat dan rukun nikah adalah tanda sah nya, namun kini itu semua hanya dianggap sebagai cerita lama. Sekadar diikuti namun tidak paham makna.
Memilih menantu pun sudah berganti rupa, tidak lagi melihat dari segi hukum agama. Tapi memandang dari segi dunia. Begitu juga saat mengadakan kendhuri, tidak lagi sederhana namun sudah bermegah-megahan dan menunjukkan kemewahan. Ibarat sebutir telur tidak ada lagi makna.

Kenapa adat harus berada diatas hukum, seharusnya adat berdasarkan hukum.
Keluhan hati ku semakin berbicara, pernikahan bukanlah sebuah transaksi mencari harta. Perubahan masa mengubah pola pikir manusia, seakan kini tidak lagi mengenal hukum Tuhannya.